mau band kamu ada disini? atau lagumu dishare disini? GRATIS....!!! buat anak band yang dah punya lagu sendiri n pengen dishare ke temen-temen laen, disini tempatnya...

ikuti aturan mainnya:
1. kirimkan lagu jadi dengan audio mixing yang normal dilengkapi dengan profil band via email ke: deditsabit@gmail.com
2. beri judul emailnya dengan nama "BAND"
3. konfirmasikan pengiriman via chatbox yang tersedia di sebelah kiri
4. ditunggu hingga proses penyuntingan selesai untuk diluncurkan...

jika ada perubahan dengan lagu, data atau lagunya tidak ingin dipublikasikan di blog ini lagi, segera hubungi admin, atas kerjasamanya kami sampaikan terima kasih dan salam tiga jari untuk mengharumkan citra musik Indonesia...

Photobucket

Post

Cara Cepat ‘Kiamat’ di Industri Musik

INI memang seperti membuka borok atau memecahkan nanah yang mulai membesar. Sakit dan meninggalkan bekas yang tampak jelek. Dan mungkin setelah ini, saya juga akan didamprat oleh siapapun yang merasa terlibat. Saya tidak berpretensi apa-apa ketika menulis ini, selain menyorongkan fakta yang terjadi secara riil. Jangan mendengar kabar-kabur atau desas-desus yang tidak jelas juntrungannya.

Di jagat ini, nyaris semua lini industri ada yang namanya “menerima dan memberi” entah tulus, entah berpamrih. Dalam konteks kekinian, makin sedikit yang memberi dengan tulus dan menerima dengan sukarela. Selalu ada embel-embel dibalik kerjasama yang menguntungkan itu.

Entah mengapa, banyak orang –entah perempuan atau laki-laki—yang punya mimpi menjadi artis, musisi, penyanyi atau apapun yang berhubungan dengan keterkenalan, popularitas dan hedonisme. Tiga hal itu selalu dianggap sebagai pencapaian dari kata “sukses”.

Ini fakta. Saya punya list beberapa penyanyi perempuan yang sejatinya merupakan ‘simpanan’ dari laki-laki beruang. Simpanan disini artinya, perempuan ini dihidupi secara materi, kadang-kadang berlebih, tapi dia harus siap menjadi “kuda pacu” dari pemilik modal itu. Pelecehan? Kalau secara harafiah, seharusnya ini pelecehan terhadap kemanusian. Kekuasaan lalki-laki bisa mensubordinasi perempuan. Tapi sayangnya, banyak yang menerima hal ini sebagai satu hal yang biasa-biasa saja. Agak miris sebenarnya.

Memang, untuk mencapai puncak itu bukan hal yang mudah. Banyak yang menggunakan kerja keras, logika dan semangat untuk maju, selain memang punya talenta untuk berkembang. Tapi tidak sedikit pula yang memilih jalan pintas, dengan alasan-alasan ekonomi yang masuk akal. Salah? Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, yang salah adalah keadaan dan realita yang mengedepankan uang sebagai satu-satunya cara untuk sukses.

Sebut saja namanya Mawar. Skill nyanyi pas-pasan, tapi punya wajah cantik nan rupawan. Bertemu dengan seorang pemilik modal [bisa pengusaha, produser, atau sekadar orang kasihan]. Masuk rekaman dan dengan teknologi rekaman yang lumayan canggih, suaranya bisa didongkrak menjadi agak mendingan.

+++

Industri mungkin seperti revolusi, kadang-kadang “memakan” anak kandungnya sendiri. Mereka tidak peduli bahwa mereka –artis-asti “tersimpan” itu—sejatinya adalah pelaku-pelaku seni yang juga ingin diperhatikan, mengadu keberuntungan, siapa tahu memang punya potensi tapi tidak tahu akses, sampai akhirnya ada “malaikat” yang meski punya “udang dibalik rempeyek” tapi memberinya akses yang tak terbatas.

Sayangnya, di bisnis apapun, pemilik modal atawa kapital nyaris selalu menjadi penentu keputusan. Mereka sudah seperti Tuhan yang menghidupkan dan mematikan talenta, kapan saja dia mau. Mungkin bagus secara kualitas diri, tapi tidak bagus di mata pemilik modal, sama saja dengan berjuang lebih keras. Tidak adil? Mungkin, tapi siapa bisa melawan ketidakadilan itu secara terang-terangan?

+++

Keyakinan saya, musisi, artis, penyanyi, produser atau pemilik modal tanpa passion musikal itu, adalah “pahlawan kesiangan” yang mengatasnamakan musik sebagai peluapan ego pribadi saja. Untungnya mereka punya duit tanpa seri, jadi merasa sah dan terserah saja menjadi “pahlawan kesiangan” itu. Sayangnya pula, “pahlawan kesiangan” biasanya ngacir paling duluan dan cepat saat yang diperjuangkannya mulai tidak mendapat hasil yang diharapkannya. Kalau semua pemilik modal di industri musik seperti itu, berharaplah industri ini tak sekadar menjadi “simpanan” juga, lalu mencampakkannya ketika mulai menemukan “mainan” baru yang lebih menguntungkan. Kalau itu terjadi, saya jamin industri ini kiamat lebih cepat.

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Konser “Coba-Coba” Oleh Promotor “Coba-Coba” Pula

PERHATIKAN! Belakangan kita akan menemukan banyak konser yang menilik promotornya tampaknya seperti konser ‘lepehan’ saja. Mengapa saya katakan begitu? Karena tanpa promosi yang memadai, kemudian nama-nama artisnya juga tidak bisa disebut happening di era sekarang. Nama-nama yang pernah berjaya atau malah belum terdengar sama sekali, meski ada klaim [dalam preskon biasanya] artis yang mereka bawa punya fansbase yang kuat. Tapi klaim itu biasanya berbanding terbalik dengan kenyataan yang dilihat di lapangan.

Banyak dari promoter itu, awalnya bukan bergerak di bidang musik. Mungkin sebelumnya ada yang mengurus olahraga, sekadar jadi EO atau tiba-tiba punya kenalan promoter atau agen yang menawarkan artis yang sedang ingin konser di Indonesia. Tentu dengan kata-kata sorga bahwa artis itu punya massa besar dan bakal dipenuhi penonton yang berjejal. Hal itu pula yang dipakai untuk menyakinkan sponsor.

Tapi kenyataannya? Yah inilah yang terjadi, banyak konser yang didengung-dengungkan bakal rame, sold out, atau laris-manis, ternyata kosong melompong. Mungkin hanya dijejali pemenang kuis, kerabat, kru dan fans-fans fanatiknya saja. Lalu apa jawaban promoter ketika melihat kondisi itu?

“Kita sudah lakukan promosi dan kerjasama dengan banyak pihak, tapi kalau hasilnya seperti ini kita angga ini pembelajaran untuk konser berikutnya.”

Jawaban yang terdengar sangat masuk akal, tapi kalau ditelaah lebih jauh sama saja dengan promoter itu tidak punya persiapan atau strategi apa-apa dengan konsernya. Yang jelas, mereka tidak mengadakan riset tentang seberapa kuat pengaruh artis itu di Indonesia.  Asal bule, kayaknya fansbase-nya kuat, apapun itu, silakan panggungkan. Dan itulah kesalahan terbesar promoter  apalagi kalau terhitung baru. Hanya mengandalkan kekuatan uang dan agen [sukur-sukur agennya jujur], tentu bukan jaminan sukses.

Jadi pembelajaran untuk konser berikutnya? Apakah mengeluarkan uang ratusan juga mungkin milyaran masih dianggap sebagai ajang coba-coba? Bagaimana kalau promoter itu tidak bersaing gede-gedein nge-bid artis? Biar penonton local juga seneng kalau tiketnya murah. Nggak usah merasa bangga kalau bisa ngedatengin degan biaya mahal diluar harga normal, karena yang ada malah diketawain artisnya. Masih mending kalau bisa semena-mena sama artisnya, yang terjadi tetap saja kita jadi ‘kacung’-nya meski sudah dibayar gila-gilaan.

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Manunggaling Pencipta & Pendengar: Musik Untuk Musik atau Musik Untuk Mematikan Musik?

MENCIPTAKAN lagu, membuat aransemen, kemudian menjadikannya indah sebagai satu komposisi utuh, sebenarnya adalah bagian dari ilmu komunikasi. Karena secara teori, ilmu komunikasi adalah ilmu yang mempelajari usaha komunikator untuk menyampaikan isi pernyataan kepada komunikan.  Kalau mengacu teori tersebut, bisa kita bedah komunikator-nya adalah musisi, isi pernyataannya adalah lagu dan komunikannya adalah fans atau penikmat musiknya.

Ketika musisi atau penyanyi membuat dan menyanyikan lagu-lagunya, sejatinya dia sedang menyampaikan pesan kepada pendengarnya. Alhasil, pesan itu positif atau negative biasanya akan cepat diserap dan dinikmati pendengarnya. Pernah mendengar seseorang bunuh diri karena mendengar lagu yang amat galau? Atau sebaliknya menjadi pembunuh karena liriknya dianggap memberi pembenaran untuk melakukannya? Kasus-kasus itu tidak sedikit. Itu dari sisi negatif.

Dari sisi positif, banyak cerita manusia kembali ke Tuhannya, karena mendengar lagu yang menyentuh. Atau hubungan dengan kekasih, sahabat, keluarganya, menjadi dipulihkan karena lagu yang memberi pencerahan secara emosional dan sangat dalam.  Makanya, musisi harus berhati-hati dengan apa yang ingin disampaikannya, karena isi pernyataan yang ditulisnya, disadari atau tidak, punya pengaruh yang hebat.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, anggaplah ini kunci—bagaimana musisi atau pencipta lagu mendapatkan emosi dari lagu yang diciptakannya. Memang, bukan sesuatu yang hakiki dan berlaku untuk semua karakter lagu. Tapi ini adalah bagian dari teori komunikasi dan mempelajari apa yang menarik dari satu lagu yang sudah tercipta.

Emosi

Lagu yang menarik dan istimewa adalah lagu yang punya emosi dengan pendengarnya. Kita pasti pernah mendengar istilah ‘lagunya gue banget….!” Kenapa terlontar ucapan itu? Karena lagu itu bisa menyentuh sisi terdalam perasaan seseorang. Bagaimana bisa dilakukan? Ketika seseoran membuat lagu dari sesuatu yang sangat personal, dia sudah punya kelebihan awal di emosi. Kisah putus cinta, bisa menjadi dramatis dan “meleleh” saat dibuat berdasarkan kisah nyata yang dialami penciptanya. Atau kesedihan kehilangan orang-orang yang kita cintai misalnya. Emosi ini bisa muncul dalam beberapa sebab dan tempat.

Cerita di Balik Layar
Cerita dibalik layar ini, disadari atau tidak, kerap memberi peluang untuk menjadikan lagu tersebut anthem seseorang. Misalnya, satu lagu yang tercipta di saat musisi itu sedang berada di ambang mau lantaran sakit, atau justru mati usai mencipta lagu itu. Atau contoh lain, kisah lagu Dara milik Ariel Peterpan, yang tercipta di ruang penjara. Cerita-cerita seperti itu –meski kadang hanya kisah semua yang sengaja dibuat—bisa memberikan efek kejut yang tidak pernah kita duga.

Musikalitas

Ini berhubungan dengan lirik atau aransemen yang dibuat. Bagaimana musisi merespon dengan cepat dan baik dari kisah-kisah yang terbentang di depannya, menjadi satu rangkaian untuk lirik dan aransemen yang menarik dan layak dinikmati.  Peran penting aranjer menerjemahkan cerita dalam komposisi ini ibarat koki yang kudu meramu bermacam-macam bahan menjadi menu masakan yang enak.

+++

Poin-poin di atas melengkapi hal-hal penting yang kudu diketahui oleh musisi atau pencipta lagu. Baiklah, memang semua tampak teoritis, tapi apa yang diwartakan dan disampaikan ini sebenarnya semacam riset singkat dari ratusan band yang pernah diwawancarai. Kesimpulan ini cukup valid dan menjadi acuan yang perlu diperhatikan.  Apa yang sebenarnya penting diketahui dari sisi komunikator, isi pernyataan dan komunikan penerima?

i. Magnitude [pengaruh]
Unsur propagandis secara positif menjadi amat penting. Seberapa kuat lagu itu menjadi pengaruh, memberi pengaruh dan benar-benar memberi ruang pendengarnya untuk bersikap atas sesuatu. Lagu harus memberi pengaruh. Kalau tidak, tidak akan menjadi istimewa atau biasa-biasa saja.

ii. Significance [seberapa penting]
Seberapa penting pesan itu harus disampaikan? Kalau tidak terlalu penting, mendingan ganti tema atau ganti lagu saja. Banyak lagu yang mengandung pesan tapi dipaksakan. Percayalah, kalau itu dilakukan, tidak hanya akan gagal dan tidak mendapat respon apa-apa, tapi juga membuat imej berantakan dari musisi tersebut. Tidak usah membuat pesan yang mengada-ada. Jujur saja.

iii. Actuality [aktulitas pesan]
Aktualitas pesan juga penting. Pesan yan berhubungan dengan kondisi nyata yang terjadi sekarang, akan berbeda ketika peristiwa itu terjadi beberapa tahun sebelumnya. Meski ada yang bisa tetap actual sampai kapanpun, tapi itu kasus per kasus. Musisi memang perlu update dengan dirinya sendiri. Kalau tidak, dia akan terjebak dalam kotak pandor yang tak pernah terbuka.

iv. Proximity [kedekatan]
Seberapa kuat lagu itu punya kedekatan [emosional] dengan pendengarnya? Kalau ceritanya ngawang-ngawang, pendengar merasa jauh dengan apa yang didengarnya, itu sudah tanda-tanda kegagalan. Anggap saja, beda segmen, penempatan yang tidak pas dan pesan yang tidak punya sisi emosional.  Pengalaman hidup dan banyak mendengar, biasanya menjadi kunci penting poin ini.

v. Prominence [keakraban]
Akrab ini lebih personal ketimbang sekadar kedekatan. Artinya, di level ini, sebuah pesan melibatkan seseorang  dalam kehidupan orang lain. Bukan perkara mudah, tapi bukan tidak bisa. Banyak pencipta lagu yang berhasil disini. Contoh ST12 selalu mengharukan saat menyanyikan ‘Saat Terakhir’ karena lagu itu tercipta usai salah satu personilnya meninggal dunia. Keakraban yang terjalin bertahun-tahun, membuat semua personilnya bisa merasakan apa yang terjadi di detik-detik terakhir sahabatnya itu. Sayang, band ini bubar.

vi. Human Interest [kemanusiaan]
Lagu harus bisa memanusiakan pendengarnya. Apa maksudnya? Lagu jangan meremehkan pendengarnya, lagu jangan membuat pendengar tersinggung. Lagu harus mewakili kemanusiaan. Ketika Bona Paputungan membuat lagu tentang Gayus beberapa waktu lalu, dia sedang mewakili kemanusiaan yang terkoyak karena ulah seorang manusia lain. Itu salah satu contohnya. Soal cinta pun harus punya sisi kemanusiaan. Jangan meremehkan cinta itu sendiri. Intinya, lagu yang menjadi “sejati” dengan pendengarnya, akan membuat kita terwakili. Dalam bahasa Jawa mungkin bisa meminjam istilah ‘manunggaling pencipta dan pendengar’. Artianya ‘bersatunya’ rasa dari pencipta terhadap rasa dari pendengar.

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Menjadi MANUSIA & MUSISI MANEKIN

BERDIRI di sisi yang berseberangan, memang tak mudah. Selalu ada garis tengah yang harus dikorbankan. Jujur saya bertanya, apakah ada yang merasa nyaman dengan pilihan-pilihan seperti itu? Seharusnya tidak, kecuali jika diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang dilematis. Ibarat pepatah, seperti buah simalakama. Serba memusingkan.

Dalam teori komunikasi, ada satu istilah yang disebut magnitude yang dimaknai sampai sejauhmana apa yang kita lakukan itu memberi pengaruh kepada sekitar kita [dan tentu saja kepada diri kita sendiri]. Dalam diorama yang terpampang di depan hidup kita, magnitude memang akhirnya membentuk karakter kita.

Ketika memuja, sejatinya kita berada pada sebuah persimpangan. Kita diperhadapkan pada pilihan yang dilematis dan kronis. Dilematis, karena kadang-kadang kita kudu mengabaikan hal-hal yang mungkin kita tidak sepakat, tidak kita sukai, dan kehilangan jatidiri. Atas nama pemujaan, kita bisa kehilangan. Kronis, karena bisa addict dengan pemujaan dan kerap melakukan hal-hal bodoh yang disesali lama kemudian. Kadang-kadang tidak menggunakan akal sehat.

Tapi ada kok, manusia yang selalu memilih berada di persimpangan. Kebingungan dengan arah mana yang harus ditempuh, ragu-ragu untuk memilih jalur, dan bisa terjerumus. Bukan orang bodoh, karena justru manusia berpendidikan, punya kelas dan cerdas dalam sudut pandang wawasan.

Dilematis selanjutnya adalah menjadi manekin. Ini adalah patung bisu yang dipajang sebagai etalase pakaian. Karena benda mati, manekin ini rela diperlakukan apa saja. Ditendang, ditelanjangi, digusur dan mungkin dibuang, tanpa bisa melawan. Namanya juga benda mati. Tapi bagaimana ketika benda hidup , berotak, berpikir, bernama manusia, diperlakukan seperti manekin itu? Harus kalau wajar, dia akan melawan. Yang memperlakukan aktivitas itu pun juga bisa dibilang tidak wajar, atas nama apapun. Kalau diam dan tak melawan, manusia itu disebut manusia manekin. Entah apa alasannya, karena bodoh, sayang, cinta, tolol atau pasrah?

Sisi lainnya adalah yang disebut significance. Seberapa penting sisi-sisi yang kita pilih itu menjadi satu aktivitas kita atas kemanusiaan. Banyak hal [tidak] penting terjadi, dan itu bisa dianggap penting oleh sisi yang satu, sementara satunya menganggap itu tidak penting. Terserah, dari sisi mana melihatnya.

Proximity menjadi sebuah lelucon, karena dengan memperlakukan manusia lain seperti manekin itu, unsur kedekatan itu berubah menjadi ‘hamba’ dan ‘budak’ dalam versi halus. Dan itu banyak terjadi dalam kimiawi urusan hati. Bagaimana pasangan yang satu memperlakukan pasangan lainnya seperti ‘budak’ meski tidak terasa karena mengaku melakukannya atas nama cinta. Persetan!

Manusia manekin, sejatinya bukan kelemahan, tapi dia mempertimbangkan banyak hal untuk melawan. Manusia manekin itu punya kekuatan “dalam” yang orang tidak pernah duga. Ketika kelak manekin ini meledak, percayalah, pendampingnya akan ‘sangat kehilangan’. Jadikanlah manekin itu, manusia yang benar-benar dicintai.  Karena, dia tidak akan meledak.

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Tere : Musisi itu Harus Sejahtera!

MENJADI anggota Dewan Perwakilan Rakyat [DPR] RI yang terhormat dari Partai Demokrat, tak mengubah Tere, tiba-tiba jadi hedonis dadakan. Perempuan berdarah Batak ini tetap memillih musik dan musisi, sebagai jatidirinya. Tak heran, ketika ditempatkan di Komisi X, cewek bernama komplit Theresia Ebenna Ezeria Pardede ini, kerap bersuara vokal kalau bicara soal kesenian. Tapi seberapa kuat pengaruhnya? Atau jangan-jangan Tere yang terkooptasi perilaku buruk koleganya? Kepada penulis, pemilik hits ‘Dosa Termanis’ ini menjawab tudingan itu.

Pasca berada di legislatif, bagaimana Anda melihat centang-perentang industri musik yang membesarkan nama Tere?

Saya justru bisa melihat persoalan yang terjadi di industri musik itu secara makro. Saya tidak asal bunyi atau teriak saja, karena ada banyak hal yang kemudian saya ketahui ketika berada di dalam. Hal itu membantu saya ketika bicara soal industrinya, karena sekarang saya pegang data. Jadi tidak asal ngomong.

Apa yang sebenarnya paling Anda perjuangkan di legislatif, dalam korelasinya dengan musisi sebagai jatidiri Anda?

Kita –para musisi—masih sangat lemah dalam penegakan Hak Atas Kekayaan Intelektual [HAKI]. Dan itulah yang sangat getol saya perjuangkan di parlemen. Mengapa? Karena ini berhubungan dengan karya cipta seseorang. Bayangkan, musisi yang dianggap legendaris Di Indonesia masih harus kerepotan mencari dana ketika sakit di hari tuanya. Harusnya kan tidak begitu, karena mereka punya karya. Artinya pula, ada yang salah dalam implementasi di lapangan.Musisi itu harus sejahtera.

Bagaimana Anda menyerap seluk-beluk tentang industri musik, sehingga bisa mengatakan ada yang salah dalam implementasi di lapangan?

Jangan salah, saya adalah pelaku industri dan saya tahu karena pernah mengalami apa yang dirasakan banyak musisi lain. Hal-hal yang menganggu musisi dalam berkesenian, saya rasakan kok. Dan karena saya berada di dalam [parlemen], saya bisa menyuarakan apa yang selama ini tidak didengar. Saya ingin mendorong pengakuan terhadap hak cipta intelektual melalui Komisi Pendidikan dan Kebudayaan. Indonesia memiliki potensi intelektual namun belum dianggap.

Dengan niat mulia seperti itu, seberapa kuat sih pengaruh suara Tere di parlemen?

Alhamdulilah, sampai sekarang suara saya masih didengar dan cukup diperhatikan oleh kawan-kawan di parlemen. Paling tidak, masih ada pengaruh suara saya. Yang penting, apa yang saya suarakan ini jujur dan bukan sekadar cari muka saja.  Saya hanya ingin seniman, termasuk musisi bisa menjadi pemusik yang tenang, royalti aman, dan tidak ada bajakan.

#wawancara ini sudah dimuat di majalah SoundUp di rubrik An Evening With. Ketika wawancara dilakukan, Tere belum mengundurkan diri sebagai  anggota DPR

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Tanya Yang Tak Dapat Diam, Suara Yang Tak Dapat Dibungkam

SAYA TERINGAT seorang Wiji Thukul, penyair “perlawanan” yang  kerap bersuara keras lewat puisi-puisinya.  Laki-laki yang tumbuh dalam kehidupan kelompok marginal yang kerap tersisihkan itu, menjadi ikon perlawanan lantaran corong karyanya selalu tegas dan keras berpijak pada kehidupan yang dia lihat, alami dan rasakan. Risikonya memang tidak ringan, dan pilihan itulah yang membuat Wiji Thukul kemudian “lenyap” tak ketahuan rimbanya, bahkan sampai saat ini.

Mengapa saya memberi contoh seorang penyair? Wartawan –apapun bidangnya— sebenarnya seperti penyair, menyuarakan apa yang dia lihat, alami dan rasakan. Mau keras bisa, mau lembut bisa, tapi mau jadi lembek juga bisa. Macam-macam sebabnya. Ada yang benar-benar berdiri atas nama idealisme jurnalis. Meskipun di era yang serba korup ini, idealisme seperti omong kosong yang merdu suaranya.

Tapi mempertahankan jatidiri sebagai jurnalis yang berani bersuara lantang, karena memang mempertanyakan hal-hal yang harus dipertanyakan, haruslah ada. Ketika jurnalis hanya berpatokan pada fakta-fata reguler yang tampak di permukaan, harusnya dia hanya menjadi “juru ketik” saja, karena tidak pernah bertanya dengan dalam darimana hal-hal yang nampak itu didapat.

Risiko seperti itu adalah, dimengerti dan dipahami sebagai bagian dari kontrol sosial jurnalis, tapi juga dianggap sebagai komprador yang membuat area nyaman [dan tak terusik] menjadi kegelisahan karena harus menyodorkan fakta, yang mungkin tidak enak dirilis. Mungkin juga dianggap sebagai ‘enemy’ yang harus disingkirkan jauh-jauh. Kalau hanya “diminggirkan” dari arena mah, soal sepele itu. Tapi kalau kemudian dikriminalisasi, dibunuh atau dibungkam dalam arti sebenarnya, itu yang harus dilawan.

Baiklah kita cukilkan suara dari Wiji Thukul itu:

……..sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan


by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

Promotor Nyebelin? Bikin KPK – “Komisi Pengawas Kepromotoran” Yuuuuk…

MENDATANGKAN artis kelas dunia memang bukan perkara mudah. Butuh proses dan networking yang tidak sederhana. Selain itu tentu saja ada nominal dalam jumlah yang bisa “membeli kerupuk untuk satu negara” saking banyaknya duit itu.  Bahwa kemudian banyak artis kelas dunia bisa didatangkan ke Indonesia,  jelas sangat dihargai oleh penggemar artis atau musisi itu.

Tanpa mengurangi rasa hormat [kaya undangan kawinan], banyak promotor baru yang bermunculan dan perlu dikritisi. Saya harus tegaskan, mengritisi dengan menjatuhkan itu dua hal yang berbeda.  Kalau mengritisi adalah kritik dengan masukan, meski terasa pedas. Sedang menjatuhkan, adalah mencari kesalahan tanpa solusi.

Jadi mari mengkritisi, karena ternyata kenyamanan, keamanan dan “kemanusiaan” penonton  kerap dilewati karena mengejar keuntungan menggunung di depan mata. Saya tidak bicara satu promotor saja, tapi mari kita melihat semua promotor  yang sering mendatangkan musisi asing.

Ini hanya ide ‘omong-kosong’ ketika promotor –siapapun dia—entah versi lokal, regional atau internasional, menggagas, mewartakan dan akhirnya menggelar acara besar, ada banyak hal yang perlu dilihat, untuk tidak mengatakan diawasi.  Perhatikan dari awal, cara mengumumkan event yang akan digelar, pre-sale, cara penjualan tiket, pembagian tiket, pengurusan ID press, pengaturan gate, hingga kelar acara.  Masih ada yang ‘meremehkan’ penonton dan media lokal loh.

Nah, seperti pemilihan umum atau KPK, mengapa kita tidak membuat pengawas promotor? Bukan untuk mencari kelemahan, tapi sekadar menegaskan bahwa apa yang menjadi hak penonton didapat dengan baik benar.  Kemudian juga bisa bersama-sama melakukan class action ketika promotor melakukan hal-hal yang merugikan penonton. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena belum ada asosiasi promotor yang punya aturan jelas tentang etika kepromotoran.

Tapi yang saya sarankan adalah gerakan penonton [audiens movement]. Lakukan catatan-catatan penting untuk hal-hal yang merugikan. Kalau kemudian banyak yang dirugikan, lakukan ‘perlawanan’ atau membentuk semacam ‘watchdog’ dari penonton-penonton yang concern setiap konser. Tidak mudah memang, tapi media sosial bisa dimanfaatkan dengan maksimal untuk menggalang dukungan dan ‘watchdog’ versi penonton. Kalau ada yang dirugikan, silakan laporkan. Catat promotor yang paling banyak merugikan penonton. Kalau kemudian banyak yang bergabung dan mau menjadi pengawas independen itu, niscaya akan banyak promotor yang mikir kalau bikin aktivitas yang bakal merugikan penonton. Kecuali memang mereka budeg dan tak punya mata. Harusnya ada langkah-langkah perbaikan untuk next concert.

Kan kita mau nonton konser dengan nyaman, bukan sekadar disedot uangnya tapi diperlakukan gak enak. Begitu bukan?

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


Post

“Kutukan” di Musik Indonesia

SAYA tahu, kalau Anda musisi atau pegiat musik di ranah industri, langsung mencak-mencak membaca judul tulisan ini. Seolah, industri musik Indonesia sedang mengalami masa kegelapan akut dan kudu di-ruwat supaya kegelapan itu sirna. Sebenarnya, saya tidak sedang mengulik soal ada “kutukan” apa di industri musik Indonesia, tapi saya mencoba menganalogikan sebuah ritme kehidupan industri yang sehat.

Ada penulis yang mengatakan “kutukan” adalah rambu-rambu kebudayaan. Makna yang tersirat dari pernyataan itu adalah, setiap kebudayaan yang dilahirkan sejatinya punya “kutukan” masing-masing, sebagai penjaga kontinuitas untuk melakukan aktivitas budaya. Musik sebagai bagian dari budaya, seharusnya punya wacana untuk mengembangkan diri dengan strategi kultural yang bisa dijadikan patokan. Sayangnya, bukan seperti itu yang terjadi di Indonesia. Yang paling banyak adalah saling mengutuk, ketika merasa musikalitasnya diremehkan atau tidak dianggap atau justru merasa paling hebat.

Agak klise sebenarnya, saat semua musisi [dengan meremehkan musisi lain] menyebut karyanya sudah dewasa. Hati-hati dengan kata dewasa tadi. Kaena kedewasaan itu menentukan apa yang direncanakan, apa yang dilakukan serta apa yang diputuskan. Sedangkan kutukan adalah perkataan ‘gak enak’ yang ditujukan kepada seseorang dengan harapan orang tersebut ditimpa bencana atau mengalami perkara yang buruk.

Terlalu berlebihankah? Buat Anda yang benar-benar terlibat dan mengetahu isi jeroan sebuah industri [musik] Indonesia, mungkin akan mengamini apa yang saya katakan. Menjadi ‘kawan seiring’ dalam industri ini, rasanya susah banget. Yang ada, ingin mejadi sprinter dan mencapai finish duluan. Sayangnya, mereka –pelaku industri—tidak dibekali dengan latihan, atau fisik yang memadai. Alhasil, boro-boro masuk finish, di tengah kompetisi, biasanya sudah kehabisan napas dan akhirnya pingsan.

Impotensi musisi dan industrinya di hadapan demikian banyak gejolak sosio-kultural dalam musik, seharusnya tidak terjadi. Dan salah satu yang paling telak adalah: keyakinan baru bahwa “kebenaran musikal” bukanlah sesuatu yang sekadar ditemukan, melainkan sesuatu yang dibentuk, di kondisikan. Segala klaim musisi tentang “kehebatan tunggalnya” adalah “bikin-bikinan” dan arogan.

Di hadapan itu semua, musisi dan industrinya seringkali kebingungan dan tidak siap. Kecenderungan menghujat seringkali tak lebih dari isyarat ketakberdayaan yang putus asa. Pada titik ini, sepertinya salah satu kunci penting yang tak terelakkan bagi musisi untuk bisa bangkit dan tampil baru secara realistis adalah memodernisasikan diri, bahkan ketika saat ini kemodernan itu sendiri dianggap telah lewat.

Berlomba-lomba menjadi musisi yang “paling agung” sebenarnya adalah “kutukan” karena kemudian akan merasa dirinya yang “maha”,  paling tidak dalam ranah industri itu sendiri. Dan setelah itu tercapai, dia atau mereka akan jadi pengutuk. Mimpi menjadi dewa dan akhirnya merasa dunia dia yang punya. Sombong? Mungkin lebih tepat disebut ‘manusia luar angkasa’ melayang-layang dan tak pernah mau kembali. Sayangnya, itu masih banyak terjadi. Musisi, Promotor, Label atau Artis – bejibun yang bodoh dan tak tahu apa-apa soal apa yang dilakukannya sendiri. Itukah “kutukan” di industri musik Indonesia?

by djoko moernantyo

Sumber: AirPutihku


cek band/ daerahmu disini:

bali, bandung, bogor, bojonegoro, depok, jakarta, jember, kudus, lumajang, makassar, malang, pamekasan, probolinggo, purwokerto, semarang, situbondo, sumenep, surabaya, tangerang, dll.
supported by deditsabit